Pondok pesantren ini pada awalnya didirikan oleh KH. Raden Ahmad Fadil pada tahun 1872, beliau lahir di Cibatu Garut, melalui didikan kedua orang tuanya tumbuh menjadi seorang ulama yang sangat tinggi akan ilmu pengetahuan agamanya, bahkan dikalangan masyarakat, bukan hanya dikenal sebagai seorang ulama yang tawadhu’ akan tetapi masyarakat banyak mengenalnya sebagai Senopati yang diangkat oleh Kerajaan Kesultanan Solo dan Surabaya pada saat itu, karena ketangkasan dalam ilmu perang sehingga ditugaskan oleh Sultan untuk membantu perjuangan Rakyat Aceh bersama Tjut Nyak Dien untuk berperang melawan Belanda.
Setelah kepulangannya dari Aceh dari berperang melawan Belanda, beliau melanjutkan syiar Islam, dan kemudian hijrah ke Bandung karena tuntutan menyebarkan ilmu agama Islam di daerah bandung, dan tinggal di desa Pangguyangan Cicalengka.
Di desa ini beliau dipinta oleh seorang yang kaya dan dermawan untuk mengajarkan dan menyebarkan ilmu agama sampai ke daerah Cikopo tepatnya dikampung Sidayang. Dari sinilah ratusan bahkan konon menurut penuturan Kyai Acep M Zaenal Arif cucu dari generasi ke-4 sampai ribuan orang yang datang dari berbagai daerah untuk menimba ilmu dari Kiyai Haji Ahmad Fadhil. Sehingga di kampung Sidayang inilah beliau mendirikan sebuah pondok pesantren, dari pondok pesantren yang beliau dirikan ini banyak melahirkan ulama-ulama yang sangat tangguh.
Setelah beberapa tahun berjalan barulah terkuak sebuah rahasia kenapa beliau tertuntut dan terpanggil untuk hijrah ke Cicalengka kemudian ke Cikopo Bandung dan kemudian beliau dipinta oleh seorang yang kaya dan dermawan untuk mengajarkan ilmu agamanya disana, atau singkat kata kenapa didaerah tersebut memerlukan sosok seseorang ulama yg sholih dan tangguh ? karena ternyata di daerah atau di desa tersebut kemungkaran dan kemaksiatan sudah sangat merajalela dikalangan masyarakat seperti ronggeng (hiburan malam) perjudian dan prostitusi.
Maka dengan hadirnya sosok Kiyai Haji Ahmad Fadhil ini maka desa tersebut di ubah dengan izin Allah menjadi kawasan pondok pesantren yang pada saat itu dikenal dengan Pakunya Bandung atau bisa diartikan bahwaKyai Haji Muhammad Fadhil sebagai pimpinan pondok pesantren jadi rujukan dalam hal menentukan kebijakan bila terjadi permasalahan keagamaan.
Setelah beberapa tahun pondok pesantren di desa Sidayang itu berdiri, kemudian beliau banyak bertafakkur dan Taqarrub kepada Allah swt yang kemudian hasil dari Taqarrub itu beliau mendapat petunjuk dari Allah bahwa di desa itu ( desa Sidayang) akan kekurangan air dan diperintahkan untuk pindah bersama seluruh santri nya ke kampung Cigintung yang lokasi nya tidak jauh dari pesantren yg beliau dirikan.
Pada waktu itu kondisi Kampung Cigintung masih seperti hutan dan banyak rawa-rawa. Dan dikampung tersebut ada sebuah pohon yang disebut Pohon Gintung. Maka dinamailah kampung Tersebut dengan nama Cigintung. Dan dikampung Cigintung inilah berdiri pesantren yang merupakan pindahan dari kampung Sidayang.
Sejak pondok pesantren itu ada di kampung Sidayang, pondok itupun belum punya nama bahkan sampai pindah ke kampung Cigintung. Berhubung pada waktu itu masih dalam keadaan penjajahan belanda jadi di sekitar bandung selatan belum ada pesantren yang berdiri selain pesantrennya Kiyai Haji Ahmad Fadhil. Karena posisi pesantren berada di kampung Cigintung maka masyarakat lebih mudah menyebutnya dengan pesantren Cigintung.
Maka tersohorlah nama pondok pesantren itu dengan sebutan” Pondok Pesantren Cigintung”. Sampai beliau di panggil oleh seorang penghulu Bandung yang bernama Hasan Mustofa untuk diangkat dan dijadikan sebagai salah seorang Majelis Syuro di bidang pengetahuan agama karena kepintarannya dibidang agama dan beliau dijadikan seorang kepercayaan untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang berhubungan dengan agama. Pada saat itu Pesantren Cigintung di jadikan sebagai Puseur atau Pusat nya Bandung.
Seiring berjalannya waktu pesantren cigintung berkembang dengan pesat, beliau dikaruniai 6 putra dan putri salah satunya adalah Kyai H.Ahmad Dimyati. Karena Kiyai Haji Ahmad Fadhil sudah menjelang tua maka kepemimpinan pondok pesantren di serahkan kepada putranya Kyai H.Ahmad Dimyati, yang menjadi generasi ke-2 memimpin Pondok pesantren Cigintung.
Kemudian di sisa usia nya Kyai Haji Ahmad Fadhil lebih banyak mendalami ilmu Thoriqot Sattariyyah. Yaitu sebuah Thariqot yang didalamnya diajarkan untuk lebih banyak menghindari keramaian dan hiruk pikuk duniawi dan lebih mementingkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt sampai akhirnya beliau wafat di tahun 1920.
Kemudian Pesantren Cigintung di teruskan oleh putranya yang bernama KH. Raden Ahmad Dimyati,
pada waktu itu masih dalam keadaan penjajahan belanda sampai akhirnya Indonesia merdeka 1945, disaat keadaan negara berguncang oleh DI TII dan G30SPKI pesantren tersebut banyak guncangan dan gangguan dari keadaan tidak menentu tersebut. Namun pesantren Cigintung tetap berdiri tegak kokoh walaupun harus sampai mempertaruhkan nyawa. Kyai Haji Ahmad Dimyati wafat di tahun 1954, dan dari pernikahannya dengan putri dari Dalem Kaum Bandung (Raden Hj. Siti Jua) beliau di karuniai 9 orang anak termasuk putra dan putri dan salah satunya dapat kepercayaan untuk meneruskan pesantren tersebut yaitu Kyai H.Udung Abdul Rozaq.
Kyai H. Udung Abdul Rozaq lahir di tahun 1936, dan pada tahun 1954 meneruskan kepemimpinan pesantren, selama kepemimpinannya di peantren tersebut beliau lebih memperdalam tentang ilmu fiqih, ilmu nahwu dan ilmu shorof, beliau wafat pada tahun 2004, dan dikaruniai 12 anak termasuk putra dan putri.
Dari tahun 2004 kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putra pertamanya yaitu Kyai. Acep M. Zaenal Arif yang merupakan generasi ke- 4 dengan tetap mempertahankan tradisi dari ayahnya dengan lebih memperdalam tentang ilmu fiqih, ilmu nahwu dan ilmu shorof. Didalam mengenyam pendidikan agamanya belaiau melaksanakan tradisi dari ayahnya turun temurun yaitu menimba ilmu di pesantren salaf selama puluhan tahun dari tempat satu ke tempat yang lain sesuai rujukan dari pendahulunya.
Untuk pesantren yang berpaham salafi tidak ada istilah merosot selama masih ada generasinya sebagai penerus, hanya saja di jaman sekarang pesantren salafi kurang di minati oleh masyarakat, hal ini sangat berbeda seperti pada zaman sebelumnya, maka dari itulah generasi ke- 4 berinisiatif untuk lebih mengembangkan pesantren seperti yang diinginkan oleh masyarakat, sesuai dengan system pendidikan dan pengajaran yang berkembang saat ini.

Kyai Acep, M. Zaenal Arif , Penerus Generasi ke- 4, Pesantren Cigintung, Putra pertama dari KH Udung Abdul Rojaq Alm
Untuk mengembangkan pesantren tersebut beliau mengajak seseorang yang masih keturunan dari pendiri pertama ponpes yang bernama Akhmad Munir putra dari salah satu putrinya KH. Ahmad Dimyati ,generasi ke-2 ( Hj. Siti Zulaeha), yang memiliki latar belakang Ilmu Kependidikan dan Keguruan karena lulusan Universitas Pendidikan IKIP/UPI Bandung, dengan inisiatifnya maka didirikanlah sebuah badan Hukum bernama YAYASAN PONDOK PESANTREN AZKIYA AL ISLAMI sebagai langkah awal untuk membuat payung hukumnya.
Setelah berdiskusi sangat matang dengan pimpinan pesantren Kyai. Acep M. Zaenal Arif, maka diambil langkah untuk mengembangkan pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan modern, dengan tanpa menghilangkan tradisionalisme yang sudah di jalankan oleh para pendiri pesantren, karena akan dipadukan dengan sistem Pondok Modern maka tentunya harus dikelola dan ditata oleh Sumber Daya Manusia yang memiliki latar belakang lulusan pondok modern.

Ust. Akhmad Munir, Penerus Generasi ke-4 Pesantren Cigintung, Putra ke-10 dari (H. Amat Rahmat & Hj. Siti Zulaeha Almh)
Maka Akhmad Munir, merumuskan langkah-langkah ke arah sistem pendidikan pondok modern dengan kajian-kajian dan mendatangkan guru yang kompeten dibidangnya.
PONDOK MODERN DENGAN DWI KEPEMIMPINAN
Bersama-sama dengan Ust. Akhmad Munir inilah lahir nama Pondok Modern Azkiya, menyesuaikan dengan nama Yayasannya yaitu Yayasan Pondok pesantren Azkiya AL-Islami. Setelah berdiskusi secara matang dan belajar dari perkembangan pondok pesantren modern yang lain, maka disepakati syestem Kepemimpinan Pondok dengan System Dwi Kepemimpinan agar pondok berjalan secara terarah, tepat sasaran dan saling melengkapi satu sama lain, karena memiliki tugas masing-masing sesuai dengan kemampuan dan background masing-masing yaitu:
Semua keputusan Dwi Kepemimpinan akan menjadi pedoman bagi perkembangan pondok modern azkiya. Dwi Kepemimpinan ini berjalan tidak ada batas waktu atau berkelanjutan kecuali wafat atau digantikan oleh pihak yang memiliki kemampuan didalam ilmu agama.
Sebagai langkah awal untuk pengembangan pondok Pesantren Modern ini adalah pengembangan SDM, maka diselenggarakan pendidikan untuk Mudaris (calon) guru sebanyak 7 orang santri, yang di bina untuk menjadi guru dalam sebagai pendamping di pondok pesantren tersebut, calon mudaris tersebut mulai di bimbing pada tanggal 07 Januari 2013,dengan dana dari para dermawan.
Pondok Modern Azkiya akan dikembangkan dengan menyelenggarakan pendidikan formal di mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, MadrasahTsanawiyah,Madrasah Aliyah, Madrosah Takhosus dan Sekolah Tinggi setingkat Universitas yang dipadukan dengan pendidikan pondok pesantren yang mengacu pada pemahaman kitab-kitab kuning dengan berbagai disiplin ilmu terutama Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah, Fiqih, Tafsir, Hadits dan lain lain.